watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

CERITA SEKS DAN HASRAT

Waktu itu aku sedang sendiri. Aku baru saja
(sekitar sebulan) berpisah dengan salah seorang
gadis yang sangat kusayangi. Ah, aku sendiri
heran, mengapa perpisahan yang kali ini
membuatku sedikit sakit hati. Hari-hari terasa
sangat berat tanpa kehadirannya, bahkan aku
pun punya rasa sedih akan kehilangan seseorang
(setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu). Aku
jadi semakin sering menelepon Enni (kekasih
pertamaku) walau hanya sekedar menceritakan
betapa aku merasa sangat sendirian. Mungkin
kalian pernah merasakan (paling tidak sekali)
serius menjalin hubungan dengan seseorang,
dan begitu pula aku. Pathetic, untuk cowok
sepertiku. Tapi, yah terkadang perasaan tak
dapat selalu ditipu, bukan?
Suatu hari aku (karena menganggur sekali)
menghabiskan waktu luangku di toko buku
Gramedia, di jalan Kertajaya, sekedar membaca-
baca buku. Soalnya di sana satu-satunya toko
buku bermutu dimana kita bisa membaca gratis.
Waktu itu aku sedang menikmati membaca
buku komik Jepang Elex Media terjemahan
bahasa Indonesia (entah apa judulnya, soalnya
aku tak ingin repot mengingatnya).
Menyandarkan tubuhku di tembok di sebelah rak
buku, dan membiarkan orang-orang
memandangku dengan heran saat aku tertawa.
Saat itulah tiba-tiba aku melihat sebuah kepala
muncul dari balik buku yang kupegang.
"Nia?" seruku tak percaya.
"Ray? Bener kan? Raayy!" seru gadis itu tak kalah
sengit.
Kami berdua tanpa terasa saling berpelukan,
tertawa-tawa, membiarkan adegan tak senonoh
itu dilihat orang di sekitar kami.
"Ssshh.. banyak orang," Nia berkata kepadaku.
"Hahaha.. nyari tempat yuk," kataku.
Kugandeng tangannya keluar dari Gramedia.
Kami akhirnya mengambil tempat di salah satu
warung di sebelah toko buku itu.
"Ray, gimana aja kabarnya.. umm.. setahun
yah?"
Ah ya setahun, lama memang.
"Yah, baik-baik saja. Kamu?"
Lalu Nia bercerita tentang bagaimana ia setelah
lulus SMU, berangkat ke Jakarta untuk
meneruskan kuliah D1 di sebuah universitas
negeri di sana. Setelah tamat, ia kembali ke
Surabaya dan bekerja di sebuah bank swasta
yang namanya cukup kondang di Indonesia.
Ceritanya sangat panjang (dan siapapun takkan
mau mendengarnya, membosankan), namun
yang kutahu saat itu aku butuh teman untuk
bicara, untuk.. "Ray, jadi inget waktu dulu." Aku
pun teringat. Waktu..
Kota Xxx, Jawa Timur, 1995
Kami bertengkar hebat hari itu. Enni tidak mau
lagi mendengar alasanku. Dia benar-benar
marah ketika mengetahui bahwa aku melupakan
janjiku untuk mengantarnya les hanya demi
bandku. "Pulang, pikir dulu perbuatan kamu,
baru temui aku lagi!" Huh, ya sudah, pikirku
sambil beranjak keluar mengambil sepeda
Federal-ku dan ngeloyor pulang. Di tengah jalan
hampir saja aku terjatuh, reaksi Nipam di
tubuhku masih belum hilang benar. Aku pulang
ke rumah, membanting sepedaku di halaman,
dan langsung menuju ke kamar. Kubuka
lemariku dan mengambil sebotol Bacardi yang
isinya tingal setengah. Kuambil 'tik' obat di saku
belakangku. Memencet keluar dua butir terakhir,
mengunyahnya sambil menenggak seteguk
cairan dari botol di hadapanku. Nikmat! Anganku
melayang, kujatuhkan tubuhku di tempat tidur,
menunggu reaksi obat bekerja. Cih, pikirku, siapa
yang butuh wanita. Kubuka retsleting celanaku,
mengeluarkan batang kemaluanku,
menggoyang-goyangnya sejenak dalam
genggamanku sampai menegang. Kusentil
ujungnya dengan telunjukku sambil tertawa
kecil. Gila, aku tahu kamu protes atas ucapanku,
hahahaha. Setan pun tertawa dalam jiwaku.
Kubayangkan tubuh Enni di atasku, tanpa
pakaian, tubuhnya bersimbah peluh. "Ahh..
uhh.. ahh.. Ray.. ahh.. ahggh.. agg.. ahh.."
kutariik-tarik kulit kemaluanku, merasakan nikmat
pada ujung-ujung sarafnya. Sekarang Enni
menciumi dadaku dengan ganas, menggerak-
gerakkan pinggulnya, "Ahh.. mm.. mm.. hh..
ahh.. ngnggnn.. hh.." kuraasakan keringat di
permukaan perutku. Nikmat, anganku semakin
melayang. Bangsat hina! Kulepaskan
genggamanku pada batang kemaluanku,
mengeleng-gelengkan kepalaku untuk
memperoleh sedikit kesadaran. Monyet!
Kuulurkan tanganku mengangkat gagang telepon
yang barusan berbunyi keras sekali di pinggir
kepalaku.
"Halo..?" nada suaraku terdengar penuh emosi.
"Ray? Kamu tidur..? Sori deh.." nada suara
ketakutan terdengar dari seberang.
"Ah.. nggak apa-apa. It's okay," emosiku sedikit
mereda.
"Kamu ada masalah apalagi dengan Enni?"
"Biasa, sifat kekanak-kanakannya belum mau
hilang."
"Ya sudahlah, tadi dia nangis telpon aku.."
"Lalu? Kamu mau menyuruhku minta maaf ya?"
"Bukan gitu, Ray.."
"Ya sudah deh, aku ngantuk."
Kuletakkan gagang telepon tanpa menunggu
sahutan suara di seberang. Kembali
menelentangkan tubuhku, menggenggam
batang kemaluanku. Hup. Ah, ya. Kuangkat lagi
gagang telpon, menekan beberapa nomor.
"Nia? sori aku sedikit emosi."
"Hmm.. iya deh, tapi jangan berantem terus."
Pikiranku sedikit melayang. Obat sialan.
"Nia, jalan yuk."
"Ha? Mau kemana?"
"Curhat saja, aku pingin refreshing," sahutku sok
sedih.
"Iya deh, jangan pulang malam-malam okay."
"Yop."
Kuletakkan gagang telpon ketempatnya semula,
mengambil celanaku dan berpakaian.
"Ma.. aku pakai mobil," teriakku.
"Mau kemana Ray? Nanti Papa pulang loh.."
mama berteriak dari dalam kamar.
"Bentar saja.." sahutku, dan langsung
mengambil kunci mobil dan tanpa menunggu
seruan mamaku, aku membawa mobil papa
keluar rumah.
Di jalan kutenggak teh pahit yang selalu kubawa
di saku jaketku. Ah, lumayan segar. Kutaruh
kembali botol Vicks 44 itu ke dalam saku jaketku,
dan memacu gas mobil menuju ke rumah Nia.
---------------------------------------------------
Kugerayangi buah dadanya, menciumi puting
susu-nya, melumat bibirnya, meraba
selangkangannya, "Ahh.. uh.. oh.. hkk.. jangan
gitu dong, Ray. Kamu harus lebih pengertian."
Kubanting stir ke kiri, memasuki jalan menuju ke
luar kota yang ditumbuhi pepohonan, jalan itu
terlihat sepi dan gelap.
"Bagaimana bisa pengertian kalau sifatnya seperti
itu terus?"
"Yaahh.. bagaimana yah?" Nia terlihat bingung,
matanya menatap jendela, melihat pepohonan
yang seakan berlari.
"Memang anaknya seperti itu, Ray?" lanjutnya.
Saatnya, pikirku. Kubanting stir melewati kali kecil
di bahu jalan, itu bukan masalah untuk Taft GT
milik papaku.
---------------------------------------------------
Kurasakan Rena mengelus rambutku. Aku
menangis semakin keras, mengerang dan
terisak, sesekali menguap dengan gerakan
sesamar mungkin, sekedar memastikan air
mataku tetap keluar.
"Aku sedih.." isakku.
Yah, sedih sekali, sampai menempelkan kepalaku
di pahanya.
"Ya, begitulah namanya orang pacaran, kan
nggak harus senang terus.." kudengar
bisikannya.
"Kamu baik.." kataku lirih nyaris tak terdengar.
Nia mencondongkan kepalanya.
"Apa..?"
Susu-nya itu loh, menempel di ubun-ubunku,
seandainya aku bisa berkata begitu saat itu.
Namun, aku lebih memilih untuk memutar
tubuhku, mengangkat punggungku sekuat
tenaga sehingga dapat menyentuh bibirnya
dengan bibirku. "Hhh.. Ray.." Peduli amat, lagi
enak, nih.
"Aku butuhh.. mm.." kukulum bibirnya.
"Sayanghh.." Nia membalas ciumanku.
Matanya terpejam. Kuangkat sisi tubuhku,
memeluk belakang lehernya dengan telapak
tanganku. Plakk! Tamparan itu telak mengenai
pipiku, membuat pengaruh obat di kepalaku
sejenak berkurang. "Nia.. maaf.." Aku beringsut
ke bangkuku sendiri, menutup mukaku dan
menangis seperti seorang anak kecil. Cukup lama
dan melelahkan untuk berpura-pura seperti itu.
"Ray.. aku juga minta maaf.." Akhirnya siasat ini
memang tak pernah gagal.
Nia diam saja saat aku membalikkan tubuhku
dan mengecup bibirnya. "Ah.. mm.." kudengar
Nia mengeluh dan kulihat matanya terpejam,
meninggalkan garis kepasrahan saat kugenggam
susu-nya dengan telapak tanganku. Sip,
pikiranku mulai bergerak cepat dalam kondisi
setengah sadar. Kutempelkan telapak tangaku ke
belakang lehernya, menekan kepalanya supaya
aku bisa melumat bibirnya lebih dalam. "Hhh..
Nia.." kuremas dadanya di genggamanku,
menikmati kekenyalannya. Nia diam saja saat
kumasukkan tangaku ke dalam bajunya. "Ray.."
Entah setan mana yang menyetir otakku saat itu,
kuremas buah dadanya yang empuk,
mengulum bibirnya dengan penuh nafsu,
membuatnya terengah-engah menahan tekanan
kepalaku.
Nia menurut saat. Kugandeng lengannya
menuju jok belakang. Kukulum lagi bibirnya,
sekarang tanganku mengangkat bagian bawah
bajunya. "Ray.. hh.." Kuangkat bajunya melewati
kepalanya, menciumi dadanya, menjilati BH
yang menutupi payudaranya, memegang
ketiaknya, mendorong punggungnya terangkat,
sehingga bisa kutekan kepalaku di dadanya.
"Ahh.. mmhh.. ah.. nikmatnya.." Nia mengeluh
kecil saat kulepas kaitan BH-nya. Kulihat
payudaranya yang membusung dan putingnya
yang terlihat menggoda. Kuhisap putingnya,
menyaksikan pori-porinya yang membuka saat
kujilati kulit dadanya. "Ray.. hh.." kubekap
mulutnya dengan bibirku, nafasku mulai
terengah-engah oleh nafsuku sendiri. Kubuka
baju atasku, menempelkan dadaku ke
payudaranya, menekan dan menggesek,
menikmati semua keluhan dan rintihannya yang
tertahan ketika bibirku mengulum bibirnya.
Ah.. kenikmatan ini, kenikmatan yang selalu
kuinginkan saat hatiku gundah. Kepalaku terasa
sangat ringan. Kubaringkan dia di jok belakang,
sambil terus menekan dadaku, memastikan dia
tidak banyak bergerak. "Ray.. jangan, Ray.."
Ahh, betapa aku merindukan setiap gadis yang
merintih seperti itu di dekapanku. Kuteruskan
membuka celana pendeknya, membiarkan
pahanya terlihat jelas. Ahh, kuelus dan kuraba
pahanya tanpa memperdulikan tatapan matanya
yang setengah terbuka, menatap protes atas
perlakuanku kepadanya. Jadi, sebelum
tangannya menyingkirkan tubuhku, kuciumi lagi
wajahnya, meremas payudaranya,
membuatnya mengerang dan melenguh. "Ahh..
mmhh.. nnggh.." kunikmati gerakan tulang
punggungnya yang terangkat. Ahh, nikmatnya.
Kuraba betisnya, menelusuri kulit pahanya yang
mulus, dan meletakkan telapak tanganku di
permukaan belahan pahanya, beristirahat
sejenak, menikmati genggamannya di
pergelangan tangaku yang menguat. "Ya Tuhan..
ahh.." Sayang, jangan mendesahkan nama
Tuhan sekarang, paling tidak jangan saat ini.
Kuraba celah kemaluannya yang mulai basah
dari balik celana dalamnya.
Menggerak-gerakkan jariku, membuatnya
semakin meronta dalam tindihan dadaku. "Ray..
oohh.. hh.." Dengan gerakan halus kutarik celana
dalamnya menelusuri pahanya, betisnya,
menikmati geliatnya di tindihanku. Ahh.. betapa
indahnya kenyataan yang akan kuberikan
padamu, gadisku. Kukecup bibirnya dengan
lembut, sebelum membuka ikat pinggangku dan
menurunkan celanaku berikut celana dalam yang
menutupi auratku.
Nia memandang mataku dengan wajah
memelas memohon pengertian, namun
pengertian apakah yang bisa kuberikan
kepadanya saat itu? Nyaris tidak ada.
Kugenggam pergelangan tangannya,
menuntunnya ke batang kemaluanku yang mulai
tegang tak karuan. "Aaahh.." kurasakan
nikmatnya saat tangannya menempel dan
menggenggam batang kemaluanku.
"Ray, aku tidak mau begini."
"Nia, please.." kukecup bibirnya, sama sekali
tidak merasakan penolakannya.
"Ray.." mendadak (seperti wanita pada
umumnya) Nia menekan bahuku menjauh.
"Oke," katanya.
"Aku sebenarnya juga mau."
Wah, ini luar biasa, pikirku.
"Tapi ada syaratnya.."
Sial!
"Kamu harus mau menjadi pacarku."
Aih, jadi ini masalahnya. Dapat kubayangkan
hubungan persahabatan kompetitif antara Enni
dan Nia, ahh.. begitu bodohkah aku?
"Okay.. as you wish.. my lady."
Ternyata begitu, hmm.. mungkinkah Nia merasa
iri atas keberhasilan Enni mendapatkanku?
Sempat terpikir olehku tentang apa saja yang
telah diceritakan Enni kepadanya mengenai
hubungan kami. Tapi.. mendadak Nia menekan
leherku dengan tangannya, mengecup bibirku
dengan penuh nafsu. "Ah? Mmm.." Dalam
keterkejutanku, aku nyaris tidak percaya semua
ini. Nia mendadak menggerak-gerakkan
genggamannya pada batang kemaluanku. "Ahh..
ah.. ah.. kk.." tak dapat kutahan nikmat yang
menjalar di seluruh pembuluh darahku. Kuciumi
seluruh wajahnya, menjilat bibirnya yang
terbuka dan terengah, menggigit lehernya,
menghisap puting susu-nya dan tanpa basa-basi
kuangkat tubuhku, menaikkan pahanya ke
samping, dan menempelkan ujung kemaluanku
di permukan liang kemaluannya. Kulihat
pandangan matanya yang sayu, melihat
anggukan kecilnya. Apakah ini saatnya
perjalananku berhenti? Membayangkan memiliki
seorang kekasih yang tak dapat kulepas lagi?
Masa bodoh.
"Ahh.." kudengar ia menjerit kecil saat kutekan-
tekan ujung kemaluanku ke liang kemaluannya.
Namun aku masih sangat muda dan miskin
pengalaman saat itu, bahkan dengan
keseringanku menonton film blue aku masih
tidak dapat melakukannya. Aku menjadi
bingung, keringatku keluar dari dahi dan sekujur
tubuhku. "Ahh.. ah.. ah.. Ray.. ah.." kudengar
erangannya saat pinggulku bergerak-gerak di
atasnya. Shit! bagaimana melakukannya dengan
benar? Saat itu aku menjadi panik.
"Nggak mau masuk, nih.." kataku dengan alis
berkerut.
"Ahh.. hidupin.. lampunya.." Nia berkata
setengah tertahan.
Hah? Lampu, sempat aku celingukan seperti
orang bingung menatap sekelilingku. Gila apa ya?
Dalam kebingunganku, pinggul Nia terangkat
menekan batang kemaluanku, membuatku
sedikit mengerang.
"Ngga ah.. kamu aja yang naruh," ujarku.
"Hhh.." Nia memegang batang kemaluanku dan
menaruhnya di.. entah bagian mana dari
kemaluannya. Aku berusaha menekan lagi,
"Ahhkk.."
Kami mengerang bersamaan, kutekan-tekan
batang kemaluanku, tanganku menggapai
susunya dan meremas-remas, membuat
kepalanya terangkat ke belakang.
Keringat di tubuhku semakin deras karena
kurangnya ventilasi di dalam mobil, dan karena
segala gerakan yang kulakukan. "Ahh.. ahh..
ah.." Nia masih mengerang-erang di bawahku.
Kutekan terus batang kemaluanku berusaha
menembus "apapun" juga yang menghalangi
pergerakannya saat itu. Aku mulai jenuh
menekan-nekan tanpa hasil. Nia mengangkat
kepalanya dan memandang ke bawah. "Duh..
gimana sih.. sakit nih.." Ya gimana dong? pikirku
saat itu. Kuakui aku masih buta melakukan
hubungan seksual, kalau peting sih sering.
"Terus.." tanyaku. Nia bangkit, mendudukkan
dirinya, dan menarik pundakku.
"Coba kalau begini."
"Ahhkk.."
Kurasakan bibirnya yang menempel di dadaku.
"Ahh.. ah.."
Nia mengeluh saat tangannya menggenggam
batang kemaluanku dan menaruhnya di entah
bagian mana dari kemaluannya dan
mendudukinya.
"Aacchh.." batang kemaluanku terasa sakit. Nia
menarik punggungnya ke belakang, meletakkan
tangan kanannya di atas sandaran kepala bangku
depan, dan menggoyang-goyang pinggulnya
yang menduduki batang kemaluanku. "Ahh..
ah.. ah.." aku mulai merasakan kenikmatan yang
ditimbulkan oleh goyangannya di sekujur
tubuhku.
"Ahkk.."
Tanganku mencengkeram pahanya, berusaha
menahan spermaku yang hampir keluar.
"Arrgghh.."
Kusentakkan pinggulku ke atas, membuat tubuh
Nia terangkat sejenak, spermaku menyembur
entah kemana. Membuat mataku rabun dan
pikiranku yang sudah terkontaminasi obat
melayang.
Nia menggerak-gerakkan pinggulnya lagi.
"Ahh.. ahh.." kudengar nafasnya mendengus.
"Nia.. udah dong.." kataku.
Selalu begini, begitu sudah keluar, langsung saja
keinginan itu hilang lenyap.
"Ha? Kan belum masuk?" kudengar Nia berbisik
protes.
Kuangkat tubuhku, menatap kemaluanku yang
mulai agak lemas.
"Masa?" tanyaku.
"Iya, kayaknya belum deh.." Nia menimpali.
Akh, hahahahahahaha..
"Untunglah.." kataku tanpa memperdulikan
bibirnya yang terlipat.
"Ray.. duh.."
Kukenakan baju dan celanaku, melihatnya masih
duduk di pojok kursi belakang tanpa pakaian dan
menyilangkan tangannya di dada.
"Nih.." ujarku saat mengecup bibirnya dan
dadanya.
Kuremas lubang kemaluanya sambil tertawa.
Akhirnya Nia tertawa mengiringiku, dan
mengenakan baju dan celananya kembali.
Anehnya, pengaruh obat itu mulai terasa agak
ringan sekarang.
Kuantar ia pulang ke rumahnya. Sampainya di
depan pagar, kesadaranku mendadak sedikit
pulih.
"Nia.. umm.. kita.."
Nia membalikkan tubuhnya,
"Aku tahu kok.. nggak pernah ada apa-apa kan?"
Aku tersenyum kepadanya.
"Thanks.."
"Your welcome, Ray," jawab gadis manis itu
sebelum menghilang di balik pintu rumahnya.
Ah.. what a night.
Kukendarai mobilku menembus gelap malam.
Mendadak saat itu aku ingin menelepon Enni dan
meminta maaf.
---------------------------------------
"Ray..?" "Ah, sorrie.." sahutku cepat.
"Eh.. Nia.. mm.. gini.." Nia tertawa melihat
kegugupanku.
"Jalan yuk."
"Hah.. sure.." aku tergagap-gagap.
Selalu saja anak ini tahu maksudku. Hehehehehe!
Dalam perjalanan, Nia lalu bercerita bagaimana
semenjak lulus SMU ia selalu berusaha
melupakanku dan menolak setiap lelaki yang
berusaha mendekatinya. Dan mengomeliku
karena tidak pernah menghubungiku lagi sejak
perpisahanku dengan Enni. Aku sangat terharu,
karena aku juga tahu betapa ia menyayangiku,
namun karena persahabatan adalah yang
terpenting baginya, ia rela menyerahkan
kemenangan itu kepada Enni. Ah, Nia..
seandainya saja.. Nia lalu bercerita bagaimana
Mas Dita (begitu dia menyebutnya) berhasil
meluluhkan gunung es dalam hatinya, dan
mengajaknya bertunangan kira-kira dua bulan
yang lalu. Sampai di sini aku terdiam,
memandangnya tanpa berkedip, lalu kami
berdua tertawa terbahak-bahak, antara sedih,
kerinduan, dan kasih sayang tulus seorang
teman sejati.
Masih kuingat, sebelum kuturunkan kembali ia di
Gramedia (karena Dita akan menjemputnya
seperempat jam lagi), Nia sempat mencium
pipiku dan meremas kemaluanku dari balik
celanaku, tersenyum memandangku dan
berkata, "Ray, kita akan bersahabat selamanya.."
aku hanya bisa tersenyum saat itu, semua
gejolak nafsuku hilang berganti perasaan
menyesal, sayang, dan haru yang berkecamuk
di hatiku. "Tentu.. Nia.." jawabku.
TAMAT


Adult | GO HOME | Exit
1/1546
U-ON

inc Powered by Xtgem.com